JUDUL BUKU : TEORI NEGARA HUKUM
PENULIS : FAJLURRAHMAN
JURDI
PENERBIT : SETARA PRESS
TAHUN TERBIT : 2016
JUMLAH
HALAMAN : 258 HALAMAN
Peresensi
Isra Nurpadliah
Fajlurrahman Jurdi adalah satu dari beberapa dosen muda yang
berkompeten di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Beliau telah melahirkan beberapa tulisan dibidang Hukum yang satu
diantaranya yaitu buku yang pada kesempatan ini akan kami Resensi. Buku dengan
judul “Teori Negara Hukum” adalah sebuah buku yang secara mendalam berisikan
kajian filosofis dan historis mengenai konsepsi negara hukum dan juga
menuangkan banyak pemikiran dari tokoh-tokoh ahli yang sangat membantu dalam pembelajaran
tentang negara hukum.
BAGIAN I : SEJARAH NEGARA HUKUM
Berbicara mengenai sejarah
negara hukum, kita juga akan sedikit banyak berbicara mengenai sejarah
demokrasi. Dalam buku Demokrasi : Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran karya
Saiful Arif yang dijadikan sebagai satu dari beberapa referensi dalam buku
Teori Negara Hukum hasil tulisan Fajrlurrahman Jurdi ini menyatakan bahwa awal
mula demokrasi bahkan telah dikenal sebelum munculnya Socrates. Digambarkan
bahwa hampir semua studi mengenai negara hukum dan demokrasi dewasa ini hanya
terhenti pada masa trio philosopher, yaitu Socrates, Plato dan
Aristoteles.
Plato dalam politea yang merupakan gagasan
awal negara dan hukum yang diperkuat dengan politikos yaitu ahli negara,
serta staatman dan nomoi yaitu hukum ”the law” menganggap
bahwa kelas-kelas dalam negara terdiri atas para
pemimpin, para tentara, dan para pekerja dengan bentuk pemerintahan
aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani.
Politea yang digagas oleh Plato
beranggapan bahwa negara yang ideal adalah hasil kepemimpinan pemimpin yang
cerdas. Olehnya, hukum merupakan sebagian
dari pengetahuan seorang pemimpin, yaitu filsuf raja.
Namun, dalam Politicus
Plato menyadari bahwa seni memimpin negara termasuk seni membuat undang-undang.
Karena anggapan lama Plato yaitu posisi filsuf raja lebih tinggi dari hukum,
maka dalam Politicus ini, hukum dan undang-undang dibuat hanya sesuai
kebutuhan. Maka dari itu, Plato berpendapat bahwa hukum tidaklah mutlak, tapi
dapat berubah sesuai kebutuhan. Plato
juga mengatakan bahwa “hukum bukan semata-mata untuk menjaga ketertiban
manusia saja, melainkan sebagai obat untuk menyembuhkan kejahatan manusia”.
Sebagai konsep pembatasan
kekuasaan, konstitusi klasik masih bersifat materil. Hal ini tergambar dalam Politenia dan Nomoi.
Politenia disepadankan
dengan konstitusi dan nomoi adalah undang-undang
biasa. Politenia mengandung kekuasaan
yang lebih tinggi daripada Nomoi karena Politenia mempunyai
kekuasaan yang membentuk, sedangkan pada Nomoi tidak ada
karena nomoi hanya merupakan materi yang harus di bentuk supaya tidak
bercerai berai.
Menurut
Aristoteles, politik merupakan suatu cabang pengetahuan praktis. Politik
merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan
kelompok. Menurutnya, negara adalah ciptaan alam karena manusia sendiri tidak dapat mencukupi dirinya sendiri sehingga dianggap sebagai suatu bagian dalam hubungan secara keseluruhan.
Menurutnya bentuk pemerintahan terbaik adalah monarki, aristokrasi dan
politeia. Sementara tirani, oligarki dan demokrasi adalah bentuk kemerosotan dari bentuk pemerintahan terbaik tersebut.
Menurut
Aristoteles, manusia
merupakan makhluk polis (negara-kota) yang memiliki kecendrungan untuk membentuk
suatu kelompok, bertindak dalam kelompok
dan bertindak sebagai kelompok. Tujuan dan sasaran politik disamakan dengan tujuan
kehidupan manusia pada umumnya, yaitu untuk mencapai eudaimonia
(kesejahteraan yang sangat penting bagi setiap orang).
Enam konsep pemerintahan
menurut Aristoteles:
Rule by a Single Person
|
Rule by a Select Few
|
Rule by the Many
|
|
True Government
|
Monarchy
|
Aristocracy
|
Polity
|
Corrupt Government
|
Tyrany
|
Oligarchy
|
Democracy
|
Source: The Politics : Big Ideas Simply Explained (2013:43)
Tahir
Azhary, mengatakan bahwa secara embrionik, gagasan negara hukum telah
dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles ketika ia mengintroduksi Nomoi. Dalam nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang
baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Plato
mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai
cikal-bakal pemikiran tentang negara hukum. Aristoteles yang merupakan
murid dari Plato mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti
negara yang dalam perumusannya masih terkait dengan “polis”. Bagi Aristoteles,
yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan
kesusialaanlah yang menentukan
baik buruknya suatu hukum.
Dalam
kaitannya dengan buku Plato Politea, Theo Huijbers menulis
bahwa Plato melukiskan suatu model tentang negara yang adil. Menurut Plato,
negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil. Lebih
lanjut, untuk mengefektifkan kelembagaan kenegaraan, Plato membagi penduduk
dalam tiga golongan, yaitu:
1.
Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata
yang merupakan petani, tukang, dan saudagar. Tugas mereka adalah meghasilkan keperluan sehari-hari bagi
ketiga golongan. Mereka pulalah yang merupakan dasar ekonomi dalam masyarakat karena mereka
menghasilkan, namun tidak dapat ikut serta dalam pemerintahan.
2.
Golongan Tengah, yaitu penjaga atau pembantu
dalam urusan negara. Tugas mereka adalah mempertahankan negara dari serangan
musuh dan menjamin bahwa rakyat mematuhi
undang-undang. Dengan dasar bahwa mereka adalah pengabdi negara, maka golongan tengah
ini harus tinggal diasrama dan tidak boleh berkeluarga. Hubungan mereka,
laki-laki dan perempuan diatur dengan pengawasan yang rapi oleh negara.
Anak-anak yang lahir tidak bersatu bapak dan satu ibu, namun mereka lahir dan
saling mengaku bersaudara.
3.
Golongan Atas, yaitu kelas pemerintah atau
filosof. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dalam mengawasi pelaksanaannya.
Konsepsi
Negara hukum dalam sejarah klasik itu kemudian dikembangkan di abad pencerahan
oleh Thomas Hobbes, John Locke, Baron de Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan
sebagainya yang kemudian menjadi dasar berkembangnya teori hukum modern. Sejarah sentralnya tetap bermula dari konsepsi
awal Sokrates, Plato dan Aristoteles. Itulah sebab pemikiran mereka membentang
dari filsafat hingga negara yang kesemuanya merupakan “satu paket” pemikiran
yang secara terus menerus direproduksi dan
tidak pernah hilang dalam sejarah manusia.
BAGIAN II : TEORI NEGARA
HUKUM
1. TEORI NEGARA HUKUM
Selanjutnya, bagian kedua
buku ini berbicara mengenai negara hukum dengan segala teorinya. Hukum dianggap
sebagai pelindung disatu sisi, dan disisi lainnya menampilkan bahwa hukum juga
menjadi pembatas. Hukum tidak dilihat sebagai suatu tujuan, namun hanya sekedar
alat bantu bagi manusia.
Untuk mengatur manusia
yang pada dasarnya lemah dan tidak sempurna, hukum menjadi alat bantu personal.
Hukum diciptakan untuk mengatur ketertiban bersama. Hukum juga menjadi alat
bantu sosial dan menekankan posisi hukum
sebagai instrumen negara adalah upaya agar hukum sebagai instrumen memiliki
kekuatan legitimasi.
Apabila
kita merujuk konsep hukum masa kini, maka bangunan dasar negara harus merespon
realita sosial (social reality) dan hukum dapat digunakan untuk mengikat keteraturan
realita sosial tersebut. Sebab itu, tipe tindakan negara hukum harus merujuk
kepada dimensi-dimensi hakiki masyarakat, bahwa masyarakat sebagai basis sosial
harus di jadikan sebagai subyek sosial.
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari
sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah
perkembangan manusia. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran
filsafat hukum dan kenegaraan, gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang
sejak 1800 S.M.
Ide
negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the
rule of law,juga berkaitan dengan konsep nomoracy yang berasal dari perkataan nomos dan cratos. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan
dengan demos dan cratos atau kratien dalam demokrasi. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Hal yang dibayangkan
sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Konsep tentang negara hukum mengalami pertumbuhan
menjalang abad XX yang ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (welfare
state) yaitu negara harus aktif dan turut serta dalam kegiatan
masyarakatnya, sehingga dapat menjamin kesejahteraan bagi setiap masyarakatnya.
Plato, dalam politea menguraikan betapa penguasa
pada masa 429 S.M-346 S.M sangatlah tirani, haus dan gila kekuasaan, serta
sewenang-wenang dan sama sekali tidak memedulikan rakyatnya. Selanjutnya dalam politicus,
Plato memaparkan konsep agar suatu negara dijalankan dan dikelola berdasarkan
hukum (rule of the game). Sedangkan dalam buku ketiganya yang berjudul nomoi,
Plato lebih menekankan konsepnya pada para penyelenggara negara agar senantiasa
diatur dan dibatasi kekuasaannya dengan hukum agar tidak bertindak sekehendak
hatinya.
Plato mengajukan hukumm sebagai kerangka dasar untuk
mengatur kehidupan umat manusia, dan dengan hukum itulah dasar-dasar negara
sebagai basis awal sejarah demokrasi diperkenalkan. Basic idea Plato tersebut melihat bahwa, kepentingan
banyak orang harus diutamakan diatas kepentingan pribadi dan golongan. Namun para pemikir hukum kenegaraan modern telah melakukan
perubahan atas ide dasar Plato tersebut. Oleh karena itu, muncullah Friedrich
Julius Stahl yang
memperkenalkan negara hukum menurut zamannya dan
pendapatnya terkait ciri-ciri rechtsstaat, yaitu:
1. HAM;
2. Pembagian kekuasaan berdasar trias politica untuk menjamin
HAM;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan;
dan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Menurut Sudargo G. ada 3 ciri negara
hukum, yaitu:
1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap seseorang;
2. Asas legalitas;
3. Pemisahan kekuasaan.
Negara hukum merupakan salah satu ciri negara demokrasi,
yang menurut Frans Magnis Suseno ciri-cirinya meliputi :
1.
Negara hukum;
2.
Pemerintahan dibawah
kontrol masyarakat;
3.
Pemilihan umum yang bebas;
4.
Prinsip mayoritas;
5.
Adanya jaminan terhadap
hak-hak demokratis.
Sedangkan
unsur-unsur negara hukum rule of law menurut A.V.Dicey dalam
bukunya An Introduction to The Study of The Law of The
Constitution adalah:
a.
Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy
of the law), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
terbukti melanggar aturan hukum yang ada;
b.
Kedudukan yang sama dalam menghadapi
hukum (equality before the law);
c.
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang
serta keputusan-keputusan pengadilan.
Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat
dan rule of law terdapat pada konsep peradilan administrasi yang
merupakan sarana dan menjadi ciri menonjol dari konsep rechtsstaat.
Sebaliknya, pada konsep rule of law, peradilan administrasi tidak
diterapkan karena masyarakat memiliki kepercayaan yang demikian besar kepada
peradilan umum. Ciri yang menonjol dari konsep rule of law adalah
ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (just law).
2. NEGARA HUKUM PROFETIK
Istilah profetik pertama kali diperkenalkan
oleh Kuntowijoyo. Beliau memperkenalkan apa yang disebut dengan Ilmu Sosial
Profetik (ISP). Kata profetik sendiri berarti kenabian. Negara hukum profetik
bisa juga diartikan negara Islam yang memiliki keterkaitan dengan setting historis masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah Muhammad SAW hidup.
Menurut
Happy Sutanto, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah komunitas atau
masyarakat yang ideal atau utama (khairu ummah) mirip dengan
“Negara Utama”-nya Al-Farabi (Al-Madinah al-Fadhilah). Untuk mencapai tujuan
itu, perlu “kesadaran aktif sejarah” umat manusia. Asal-usul Ilmu Sosial
Profetik dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy.
Filsafat kenabian dianggap penting dimasa kini. Disinilah
pentingnya, bahwa sejarah kenabian beserta konstruksi negara yang dibangun
dimasa lalu, menjadi kemestian untuk direkonstruksi dimasa kini. Masa dimana
kekuatan politik, ekonomi dan kultural mellingkar dalam proses demokrasi.
Negara Islam (Islamic state) adalah
istilah yang melekat dalam upaya untuk mengetengahkan bahwa Islam bukan hanya
agama yang mengatur kehidupan akhirat, tetapi Islam juga adalah suatu keyakinan
yang berpadu dengan kehidupan manusia. Meskipun
Islam tidak memperkenalkan bentuk negara secara rinci, tetapi secara
substansial, suatu negara yang menganut asas nomokrasi, yang pertama-tama adalah merujuk pada
teks-teks dasar Islam dalam proses pembangunan.
Majid
Khadduri mengatakan,
“sumber-sumber
hukum Islam tentang bangsa-bangsa segaris dengan kategori-kategori yang
didefinisikan oleh para ahli hukum modern dan Undang-Undang Lembaga Keadilan
Internasional, yakni persetujuan, kebiasaan, akal(reason), dan
kekuasaan. Qur’an menggambarkan sumber hukum yang otoratif; sunnah mirip
kebiasaan; aturan-aturan yang terungkap dalam perjanjian dengan nonmuslim dapat
disejajarkan dengan kategori persetujuan; dan pendapat-pendapat para khalifah
dan ahli hukum Islam yang didasarkan pada deduksi dan analogi hukum dapat
dimasukkan dalam kategori akal.”
Karenanya, suatu nomokrasi Islam harus tetap menggunakan
sumber utama Islam sebagai dasar-dasar kebijakan atau landasan pengambilan
keputusan. Nomokrasi islam adalah suatu model tersendiri bagi bangunan dasar
suatu negara.
Nomokrasi islam adalah suatu bentuk negara hukum yang
memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
1. Prinsip
kekuasaan sebagai amanah;
2. Prinsip
musyawarah;
3. Prinsip
keadilan;
4. Prinsip
persamaan;
5. Prinsip
pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia;
6. Prinsip
peradillan bebas;
7. Prinsip
perdamaian;
8. Prinsip
kesejahteraan;
9. Prinsip
kataatan rakyat.
Tetapi prinsip
yang paling mendasar dari nomokrasi Islam adalah kedaulatan, karena dalam
nomokrasi Islam, kedaulatan hanya milik Tuhan. Agen manusia,
seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran disebut sebagai khilafah yang
berarti bahwa agen ini tidak memiliki fitrah yang berdaulat, tetapi hanya
merupakan kuasa dari pemegang kedaulatan de jure maupun de facto
dari Yang Maha Kuasa.
Episentrum dasar manusia adalah Tuhan. Kehadiran manusia disebabkan oleh
kehendak Tuhan, sehingga yang mengatur pola dasar kehidupan manusia adalah
Tuhan
3. RECHTSSTAAT
Istilah Rechtsstaat
atau yang dalam Bahasa Jerman dituliskan Rechtsstaat dan dalam Bahasa
Inggris ditulis the lawstate atau the supreme state of law yang
berarti status hukum yang tertinggi dan berkekuatan ruiing.
Rechtsstaat (negara hukum) merupakan istilah yang dipakai
untuk merujuk aliran hukum yang ada pada Eropa Kontinental, atau disebut juga dengan civil law
system. Menurut
Philipus M.Hadjon, paham rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme sehingga perkembangannya bersifat revolusioner,
dan bertumpu pada system hukum kontinental yang disebut “civil
law” atau “modern roman law”.
Pada
abad ke-19, di Eropa Kontinental dikenal konsep negara hukum liberal. Penggagas
paham hukum liberal ini adalah Imanuel Kant. Sifat liberalnya
bertumpu pada liberty (vrijheid) dan asas demokrasi yang bertumpu pada equality (gelikheid). Dari prinsip liberty ini, kemudian lahir prinsip selanjutnya yaitu freedom
from arbitary and unreasonable exercise of the power and authority.
Karakteristik
dari Civil Law adalah administrative, dan karakteristik dari common
law adalah judicial. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan pada
masa kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan menonjol dari Raja adalah
membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan
itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang selanjutnya membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim
tentang cara memutus suatu sengketa. Karena besarnya peranan
administrasi negara, maka dalam
system kontinental ini juga muncul cabang hukum baru yang disebut droit administratif yang intinya adalah hubungan antara
administrasi negara dengan rakyat. Sedangkan di Inggris, kekuasaan utama raja adalah memutus
perkara.
Dalam konsep rechstaat menurut
Imanuel Kant, negara berfungsi sebagai penjaga keamanan baik preventif
maupun represif yang melarang negara untuk ikut campur dalam urusan
kemakmuran rakyat, karena rakyat harus bebas dalam mengusahakan kemakmurannya.
Sedangkan Friedrich
Julius Stahl dengan menolak absolut monarki menyatakan bahwa konsep rechtsstaat memiliki
4 unsur, yaitu:
1. Hak-hak
dasar manusia.
2. Pembagian
kekuasaan.
3. Pemerintahan
berdasarkan peraturan.
4. Peradilan
tata usaha negara.
Secara
tegas, Philipus M.Hadjon membagi rechtsstaat kedalam dua
varian, yakni:
Pertama : Liberal-democratische rechtsstaat
Karena sifatnya yang liberal, pemikiran ini
bertumpu atas pemikiran dari John Locke, Montesquieu, dan Immanuel Kant.
Sifatnya yang demokratis bertumpu atas pemikiran kenegaraan dari I.I.Rousseau
tentang kontrak sosial. Prinsip liberalnya
bertumpu pada liberty (vrijheid) dan asas demokrasi yang bertumpu pada equality (gelikheid).
Atas dasar demokratis, rechtsstaat
dikatakan sebagai negara kepercayaan timbal balik, yaitu kepercayaan dari
rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan
dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia mengharapkan
kepatuhan dari rakyat pendukungnya.
Ide dasar dari rechtsstaat adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip
kebebasan dan persamaan. Dalam konsep rechtsstaat yang liberal dan
demokratis, inti perlindungan hukum bagi rakyat adalah perlindungan terhadap
kebebasan individu.
Kedua : Social Rechtsstaat
S.W Couwenberg berpendapat bahwa social rechtsstaat merupakan varian dari liberal-democratische rechtsstaat. Varian dari social
rechtsstaat terhadap liberal-democratische rechtsstaat antara
lain, interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi
hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya
dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum,
karakter baru dari wet dan wetgeving.
Secara keseluruhan, kedua konsep rechtsstaat yang
diuraikan oleh Hadjon diatas jelas merumuskan prinsip-prinsip yang umumnya
digunakan ketika para ahli menguraikan konsep negara hukum. Secara prinsip,
kedua konsep rechtsstaat tersebut tidak berbeda, karena fokusnya
adalah pembatasan kekuasaan untuk menghindari machsstaat.
4. COMMON LAW
Sistem hukum Eropa kontinental, rechtsstaat muncul sebagai
suatu sistem yang rasional dan revolisioner terhadap absolutisme. Sedangkan,
sistem hukum Anglo Saxon The
Rule of Law berkembang secara
evolusioner sebagai usaha untuk melepaskan diri dri sistem absolutisme.
Konsep The
Rule of Law oleh A.V.Dicey mempunyai tolak ukur atau unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Supremasi
hukum atau supremacy of law.
2. Persamaan
di depan hukum atau equality before the law.
3. Konstitusi
yang didasarkan atas hak-hak perseorangan atau the constitution based
on individual right.
Keberadaan sistem hukum Anglo Saxon yang disebut sebagai common
law sistem adalah satu dari sekian perangkat penting dalam upaya mendorong
pemerintahan yang demokratis, sekaligus menghindari totaltiranianisme. Dengan konsep yang ada, maka pemerintahan yang
diharapkan adalah pemerintahan yang didasarkan pada kepentingan rakyat.
E.C.S Wade dan Godfrey Philips mengemukakan tiga
sanggahan atas permasalah dari
pengertian The Rule of Law dari Dicey. Pertama, common
law tunduk kepada kodifikasi oleh parlemen, dengan demikian ada kemungkinan
banyak kebebasan fundamental diganti oleh statute; kedua, common law
tidak menjamin keadaan sosial-ekonomi warga negara; ketiga, meskipun tetap
esensil bahwa legal remedies seyogyanya efektif, pengalaman
negara-negara barat menunjukan bahwa perlu diletakkan batas-batas terhadap
kekuasaan legislatif agar tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan di pihak
lain, The Eropean of Human Right telah menunjukkan perlunya supra-national
remedies.
5. SOSIALIST LEGALITY
Dalam konsep negara hukum socialist
legality, hukum ditempatkan di bawah sosialisme. Hukum adalah alat untuk
mencapai sosialisme. Socialist
Law adalah nama
resmi untuk sistem hukum di negara-negara komunis. Pada dasarnya, kata sosialis mengacu
pada pemikiran Marxist-Leninist. Teori Marxist dibangun
diatas doktrin “dialetika/historial materialisme” yang berpendapat bahwa
masyarakat bergerak menuju berbagai tingkatan dan fase didalam menjalaninya dan
itu merupakan evolusi dan pembangunan.
Teori
Marxist-Leninist mengagung-agungkan kedudukan istimewa ekonomi dalam hubungan
kemasyarakatan, dengan mengambil kekuatan mengikat dari politik dan hukum. Tradisi
hukum sosialis bukan terutama didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau
yurisprudensi, melainkan pada dasar kebijakan ekonomi dan sosial. Teori ini juga
menganggap hukum sebagai instrument (alat) kebijaksanaan dalam bidang ekonomi
dan sosial.
Kelompok
negara-negara yang telah menerima socialist law dapat dibagi
ke dalam dua kategori utama,
yaitu:
1.
Jurisdiksi sosialis kuno, seperti Polandia,
Bulgaria, Hungaria, Czechoslovakia, Rumania, Albania, Republik Rakyat China,
Republik Rakyat Vietnam, Republik Rakyat Demokratik Korea, Mongolia (merupakan sistem hukum nasionalnya
yang tertua didalam kelompok ini)
dan Kuba.
2.
Sistem hukum sosialis yang terbaru atau yang
kemudian berkembang, seperti Republik Demokratic Kamboja, Laos, Mozambique,
Angola, Somalia, Libya, Ethiopia, Guiena, dan Guyana.
State
Administration of Radio, Film, and Television juga merupakan lembaga yang mengontrol konten
semua radio, televisi , satelit, dan internet siaran di China (termasuk, di
mana ia mampu menangkap siaran satelit asing).
Melihat hal tersebut, kita dapat melihat bahwa komisi-komisi negara dalam
konteks socialist
legality juga dikenal, sehingga apabila dikonversi dalam konteks negara hukum
Indonesia, keberadaan komisi-komisi negara ini bisa diterima sebagai sesuatu
yang tidak terbantahkan.
6. NEGARA HUKUM
INTEGRALISTIK
Ide negara integralistik merupakan
paham “kekeluargaan” menurut pemikiran Soepomo, yang berpandangan
bahwa prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam
Negara seluruhnya, cocok dengan fikir ketimuran. Dikatakannya, hal itu tidak
lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Dikatakannya, hal itu
tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Struktur social
Indonesia meliputi antara aliran pikiran dan semangat kebatinan, struktur
kerohanian yang bersifat dan cita-cita tentang persatuan hidup, antara
persatuan kawulo dan gusti, persatuan dunia luar dan dunia batin, persatuan mikrokosmos dan makrokosmos,
persatuan rakyat dan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai
ide integralistik atau ide totaliter Bangsa Indonesia yang akan diwujudkan
dalam susunan tata Negara yang asli.
Soepomo menjelaskan:
Negara ialah suatu susunan masyarakat yang
integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat
satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis.
Organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran
integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya.Negara tidak memihak
kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak
menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin
keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
Soepomo menolak perspektif individualis Eropa-Barat
karena menghasilkan imperiaisme dan sistem eksploitasi. Perspektif kelas pada
kediktatoran proletariat juga dibuang karena meskipun sesuai dengan kondisi
khas Uni Soviet, perspektif ini bertentangan dengan sifat asli masyarakat
Indonseia. Kemudian,
soepomo mengajukan dua model negara integralistik yang di dalamnya dapat
dijadikan pedoman. Pertama, ia menyebut negara Jerman Nazi. Ia mengutip
asas-asas Nazi mengenai “Die Ganze der politischen Einheit des Volkes” (keseluruhan
kesatuan politik rakyat), “ein totaler Fulrerstaat” (negara di
bawah kepemimpinan mutlak), dan“Blut-und-Boden-Theorie” yang
artinya sebagai kesatuan darah dan wilayah antara pemimpin dan rakyat.
Contoh
kedua ialah negara totaliter Jepang. Soepomo mengatakan bahwa negara itu
dibentuk atas dasar ideology mengenai kesatuan kekal, lahir dan batin antara
Yang Paling Mulia Tenno Heika (Kaisar), negara, dan rakyat, sedangkan keluarga
kekaisaran yang disebut “koshitu” menjadi keluarga tertinggi. Soepomo menganggap bahwa asas kesatuan dan
kekeluargaan ini pantas diterapkan pada negara Indonesia yang akan dibentuk.
7. NEGARA HUKUM PANCASILA
Para pendiri Negara telah memilih suatu paradigma
bernegara yang tidak hanya mengacu pada tradisi hukum Barat, melainkan juga
berakar pada tradisi asli bangsa Indonesia. Paradigma
tersebut dirumuskan dalam lima prinsip bernegara, yaitu ketuhanan (theisme), kemanusiaan (humanisme), kebangsaan (nasionalisme), kerakyatan
(demokrasi), dan keadilan social (sosialisme) kemudian dipadu dalam satu konsep yang disebut Pancasila. Kelima nilai Pancasila tersebut bersifat universal, tetapi memiliki
nilai partikularis pada tradisi bangsa Indonesia.
Menurut
Mahfud, sebagai cita hukum, Pancasila
menjadi bingkai bagi sistem hukum dalam Negara Hukum Pancasila, sebagai suatu
sistem khas Indonesia. Konsep negara hukum Pnacasila mengandung lima
karakteristik, yaitu: (1) Negara
Hukum Pancasila berasas kekeluargaan, mengakui hak-hak individu tetapi dengan
mengutamakan kepentingan nasional; (2)Kepastian hukum dan berkeadilan; (3) Berlandaskan
nilai-nilai keagamaan (religious nation state); (4) Memadukan hukum
senagai sarana rekayasa sosial dan hukum sebagai cerminan budaya masyarakat; dan (5) Basis
pembentukan hukum mestilah pada prinsip hukum yang bersifat netral dan
universal.
8. NEGARA HUKUM POSTMODERN
Istilah postmodern atau pasca modern adalah istilah yang digunakan untuk melakukan kritik terhadap
praktik-parktik modernitas. Kritik dan persinggungan antara dunia modern yang
telah menciptakan kemunduran digugat oleh teori pasca modern. Manusia modern
dapat dipahami sebagai makhluk yang tersentak dari keterpukauannya
terhadap alam, sehingga mental partisipasi yang membenamkan manusia
ke dalam proses-proses kosmos menjadi dinstansi.
Menurut Stanley J. Grenz, ada enam narasi di
dunia ini yang menjadi tulang punggung berkembangnya aliran postmodern, yaitu:
1.
Narasi tentang mitos kemajuan versi dunia
Barat.
2.
Narasi Marxisme tentang
revolusi dan sosialisme internasional.
3.
Narasi Fundamentalis Kristen mengenai perlunya
kembali ke masyarakat yang diperintah oleh nilai-nilai Kristen dan Alkitab.
4.
Narasi Fundamentalis Islam mengenai perlunya
kembali ke masyarakat yang diperintah oleh nilai-nilai Islam menurut Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad.
5.
Narasi Hijau mengenai penolakan terhadap nilai
kemajuan dan perlunya kembali masyarakat diatur dengan nilai-nilai ekologis.
6.
Narasi Paradigma Baru mengenai lompatan besar
dan mendadak pada cara baru untuk menjadi manusia dan cara baru untuk mengerti dunia.
Kritik terhadap postmodern adalah kilas balik dari
beberapa penjaga proyek modernitas. Bahwa modernitas dengan segala
rasionalisasinya justru memberikan harapan bagi masa depan. Namun jika kita
melihat kritik postmodern dari sudut pandang lain,
bahwa kemapanan adalah merupakan obyek yang diserang oleh postmodern.
Negara hukum postmodern adalah negara hukum yang
memiliki kreatifitas menempatkan warga negara bukan sebagai penjaga malam
sebagaimana dalam aliran hukum klasik. Negara hukum postmodern bekerja
secara teratur mematahkan dominasi kapitalisme, menggugat otoritas globalisasi,
juga mematahkan argumentasi narasi-narasi hukum yang telah ada sebagai suatu
pertahanan status quo yang menyebabkan negara bisa memaksakan kehendak tanpa reserve.
9. NEGARA HUKUM PASCA
KOLONIAL
Istilah
Negara Hukum Pascakolonial digunakan untuk menemukan suatu kajian baru bagi negara jajahan. Ada
sejumlah jejak yang ditinggalkan penjajah atau kolonialis sebelum meninggalkan
negara jajahannya. Selain benda, ada juga peninggalan berupa pengetahuan dan
keyakinan seperti hukum dan undang-undang kolonial, agama kolonial, atau perangkat
bahasa kolonial, kota kolonial atau rupa yang sejenis dengan itu.
Negara hukum pasca kolonial adalah negara hukum yang
belum memiliki hukumnya sendiri, dimana hukum yang digunakan masih warisan masa
lalu, dan hukum yang dibuat dimasa kini masih merupakan bagian dari warisan
pemikiran masa lalu. Di Indonesia dapat kita lihat pada :
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3.
Sebagian hukum Agraria.
4.
Hukum Adat yang dikonstruksi oleh Snouck
Hurgronje.
Code civil yang diterapkan Belanda di Indonesia merupakan warisan
jajahan Prancis di Belanda, atau dengan kata lain Belanda adalah negara jajahan
Perancis yang kemudia Menjajah di Indonesia dan menerapkan Code civil warisan Perancis tersebut. Seharusnya Indonesia tidak lagi menggunakan hukum perdata dan hukum
pidana peninggalan kolonial.
BAGIAN III : PANDANGAN
TOKOH TENTANG NEGARA HUKUM
1.
NICCOLO MACHIAVELLI
Niccolo Machiavelli yaitu tokoh yang lahir pada
tahun 1469 di Italia dan pada masa puncak keemasan Lorenzo yang agung. Karyanya
yang sangat terkenal adalah II Prancipe (sang pangeran). Ide
dasar karyanya adalah ia membuang jauh pengaruh agama terutama Kristen. Ia merupakan tokoh yang realistis.
Machiavelli
melihat negara berada dalam dua kutub, yaitu kekuasaan dan anarki. Anarki
adalah tindakan melawan hukum atau aturan. Oleh karena itu, tugas seorang
pemegang kekuasaan adalah mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaannya.
Oleh sebab itu, seorang penguasa diperkenankan berbuat apa saja selama untuk
melanggengkan kakuasaannya.
Machiavelli yang seorang realistis menuntut agar ada jarak antara moral, hukum,
dan agama dengan kekuasaan. Baginya, tidak ada negara hukum dalam kamus berfikirnya.
Machiavelli memiliki pandangan dan
anjuran yang rumit tentang sebuah pemerintahan yang sukses.
2.
THOMAS HOBBES
Thomas Hobbes
dilahirkan di Malmesbury, sebuah kota kecil yang berjarak 25 kilometer dari London. Ia lahir pada tanggal 15 April 1588, dimasa armada Spanyol sedang menyerbu Inggris. Karya
Thomas Hobbes yang paling terkenal adalah Leviathan dan De
Cive. Gagasan-gagasannya pada saat itu mendukung “Status Quo yaitu
kekuasaan absolut raja-raja Inggris”.
Hobbes mengibaratkan negara
sebagai leviathan, sejenis makhluk raksasa yang ganas. Dalam filsafatnya,
leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Leviathan tidak hanya ditakuti
tetapi juga dipatuhi segala perintahnya. Hobbes menjuluki negara
kekuasaan (machstaat) sebagai Leviathan karena negara ini
menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum negara. Seperti Leviathan, negara haruslah
berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara
inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan”.
Jika ditilik
dari gagasan Hobbes di atas, Negara Hukum yang dikehendaki
oleh Hobbes sebenarnya hanya bermula dari upaya untuk mengakhiri social
chaos yang ia sebut sebagai
keadaan alamiah itu. Ia menghendaki pembentukan negara untuk mengakhiri
masyarakat alamiah, dan negara memiliki hukum sendiri untuk mengatur mereka
yang menyerahkan haknya pada “perjanjian sosial”. Hukum bukanlah konsep yang
membentuk tatanan sosial yang beradab dan setara dengan konsep negara
hukum modern yang kita pahami saat ini, namun hanya terbatas pada
pembentukan asosiasi atau kelompok yang disebut sebagai
negara.
3.
JOHN LOCKE
John Locke lahir pada 29 Agustus
1632 dan meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun. Ia adalah seorang filsuf
dari Inggris yang menjadi tokoh utama dari pendekatan empirisme. Selain itu, di
dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara
liberal. Ia dianggap sebagai salah satu figur penting diera pencerahan.
Pandangan John
Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul “Dua
Tulisan tentang Pemerintahan (Two Treatises of Civil Government)”. Ia
menjelaskan pandangannya itu dengan menganalisis tahap-tahap perkembangan
masyarakat. Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan
alamiah (the state of nature), keadaan perang (the
state of war), dan negara (commonwealth).
1.
The State of Nature (keadaan alamiah). Merupakan situasi harmonis, di mana semua
manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak yang sama.
2.
The State of War (keadaan perang). Keadaan perang ini diakibatkan karena
terciptanya uang. Dengan uang, maka manusia dapat mengumpulkan kekayaan
sebanyak-banyaknya sehingga manusia mulai mengenal status tuan-budak,
majikan-pembantu, dan status-status yang hierarkis lainnya.
3.
Commonwealth (negara). Untuk mengatasi keadaan perang dengan tetap
menjamin hak milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan
“perjanjian asal”. Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth). Dalam
perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua hal penting, yaitu hak untuk
menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri dan hak untuk menghukum
setiap pelanggar hukum kodrat yang bersala dari Tuhan.
4.
BARON DE MONTESQIEU
Gagasan Monstesqui terkait dengan lembaga Negara
hampir sama dengan gagasan John Locke. Tiga lembaga yang diajukan oleh
Monstesquieu adalah kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Sumbangan
Monstesquieu yang besar terhadap Negara adalah teori pemisahan kekuasaan. Dalam
memulai pembahasan tentang pemisahan kekuasaan, ia berbicara dalam konteks
konstitusi Inggris. Inti gagasan Montesquieu dalam meletakkan
negara hukum modern adalah upaya seriusnya dalam memisahkan antara tiga lembaga
negara, dalam fungsi dan kewenangan yang berbeda. Dengan demikian, ia menjadi
tokoh penting yang meletakkan negara hukum modern.
5.
JEAN-JACQUES ROSSEAU
Jean-Jacques
Rousseau lahir di Jenewa, Swiss, pada tanggal 28 Juni 1712 sebagai putra
seorang pembuat jam. Karyanya yang paling monumental adalah Du Contract
Sosial; ou Principes du Droit Politique (tentang kontrak sosial, atau
prinsip politik, 1762).
Rousseau terkenal dengan konsepnya tentang
perjanjian masyarakat. Keadaan manusia yang terikat oleh peranjian masyarakat
itu, digambarkan dengan kalimat pembukaan kontrak social. Ia berkata bahwa
selama manusia tidak dapat melahirkan sebuah kekuatan baru dan hanya menyatukan
kekuatan yang sudah ada, mereka tidak akan memiliki cara lin untuk
mempertahanka diri, selain informasi yang sudah ada, yakni dengan satu agregsi
yang merupakan tambahan kekuatan yng cukup besar untuk mengatasi masalah
pertahanan diri mereka.
6.
ROBERT MORRISON MACIVER
Robert Marisson
Maciver lahir, 17 April 1882 di Strornoway, Outer Hebrides, Skotlandia dan
meninggal pada tanggal 15 Juni 1970 di New York City. Ia adalah seorang
sosiologis kelahiran skotlandia. Gagasannya tentang negara hukum berada dalam bukunya yang
berjudul The Modern State, (1962). Menurutnya, negara mengatur hubungan-hubungan
lahir yang penting daripada manusia di dalam masyarakat. Oleh karena itu,
MacIver menggap perlunya perlembagaan yang benar-benar (politik). Dalam politik
ini, ada dua mesin utama, yaitu kedaulatan yang dijalankan oleh pemerintah
negara dan hukum sebagai mesin terpenting untuk menjalankannya. Maclver membedakan masyarkat dalam “makna social” dan
masyarakat dalam “makna politik”. Dalam konteks inilah terlihat
pandangan Maclver tentag Negara hukum. Menurutnya Negara menyokong dan
mempergunakan hidup kemasyarakatan, memberikan “pembatasan” serta “keluasan”
pada Negara.
7.
HANS KELSEN
Hans Kelsen
lahir dari pasangan Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober
1881. Ia dikenal sebagai ahi
hukum positivis dan memiliki pandangan-pandangan yang lebih kuat untuk
mendukung sluruh asumsi teoitis kaum positivis. Oleh karena itu, ia sering
dijuluki sebagai gawang positivism. Hans Kelsen menamakan sebuah teori “hukum
murni” yang menyatakan bahwa teori ini merupakan hukum positif. Kelsen mempersoalkan negara dari segi istilah
yang dipersonifikasikan dalam dua kutub. Konsepsi Kelsen melihat negara sebagai
“suatu masyarakat” dan konsepsi yang melihat negara sebagai “pemerintah, atau
para subyek pemerintah” ditunjukkan dengan menggunakan pendekatan berbasis
hukum. Kelsen menghendaki agar negara dibahas dalam teori ilmu hukum murni.
8.
GOUW GIOK SIONG
Gouw Giok Siong
yang juga dikenal dengan nama Sudargo Gautama, adalah seorang pakar hukum
perdata internasional dan hukum antargolongan. Ia lahir di Jakarta pada 1982.
Pemikiran Siong tentang negara hukum dimulai dengan membahas sifat-sifat negara
hukum. Gouw Giok Siong membahas mengenai sifat-sifat Negara hukum. Dalam
suatu Negara hukum menurut Siong terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap
perseorangan. Negara tidak mahakuasa. Negara tidak dapat bertindak
sewenang-wenang. Tindakan-tindakan Negara terhadap rakyatanya dibatasi oleh
hukum. Kita melihat bahwa individu pun memiliki hak terhadap Negara
9.
JURGEN HABERMAS
Jurgen Habermas
adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Habermas dilahirkan pada
tanggal 18 Juni 1929 di Kota Dusseldorf, Jerman. Habermas adalah seorang tokoh
Marxisme Barat. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek,
yaitu faktisitas hukum dan validitas hukum yang berdiri sendiri.
Habermas
menegaskan, struktur kesadaran modern dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum
sebagaimana halnya dengan hukum privat borjuis, yang terutama dipilah-pilah
menurut tiga bagian formal, yaitu:
1.
Konteks Positivisme, hukum modern dilihat
sebagai hukum yang diputuskan secara positif. Hukum ini mengekspresikan
kehendak pembuat hukum untuk mengatur urusan-urusan sosial secara konvensional
dengan cara organisasi yudisial.
2.
Konteks Legalisme, di samping kepatuha umum
terhadap hukum, hukum modern tidak memberikan motif moral apapun kepada subyek
hukum; hukum modern melindungi kecenderungan pribadi di dalam batas-batas yang
telah ditentukan.
3.
Konteks Formalitas, hukum modern mendefinisikan
domain-domain di mana individu-individu sebagai pribadi dapat dengan sah
membuat pilihan bebas (willkur).
Positivisasi,
legalisasi, dan formalisasi hukum berarti bahwa validitas hukum tidak dapat
lagi dipenuhi dengan otoritas tradisi moral yang diterima apa adanya melainkan
memerlukan suatu landasan otonom, yaitu landasan yang tidak hanya bergantung
pada tujuan-tujuan yang telah ditakdirkan.
10.
MICHEL FOUCAULT
Michel Foucault
lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926 dan merupakan seorang filsuf Perancis,
sejarawan ide, teoritisi sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra. Konsep inti dari gagasan Foucault dalam melihat kekuasaan
adalah argumentasinya tentang kekuasaan yang terkait dengan kedisiplinan. Ia
meletakkan disiplin sebagai sarana control pada aktivitas individu. Negara dan
konsep hukum yang diuraikan oleh Foucault jelas berpijak pada instrument
pendisiplinan. Karena yang
dimaksud oleh Foucault dengan Panopticism merupakan teknik produksi disiplin dan
normalisasi.
11.
JIMLY ASSHIDDIQIE
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa “ada dua
belas prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas
prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri
tegaknya suatu Negara hukum modern”. Kedua belas prinsip pokok oleh Jimly ini
diaparkan oleh penulis secara jelas dan rinci serta terurut sehingga pemabaca
dapat memahami dengan jelas setiap prinsip yang dipaparkan disertai dengan
penjelasan yang terkait sesuai dengan ungkapan atau pandangan dari tokoh yang
merupakan tokoh akademis di Indonesia dengan segala prestasi dan pencapaiannya
di dalam dunia akademik.
Kedua belas
prinsip pokok tersebut adalah sebagai berikut:
1. Supremasi
Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan
dalam Hukum (Equality Before The Law)
3. Asas
Legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan
Kekuasaan
5. Organ-organ
Eksekutif Independen
6. Peradilan
Bebas dan Tidak Memihak
7. Peradilan
Tata Usaha Negara
8. Peradilan
Tata Negara (Constitutional Court)
9. Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10. Bersifat
Demokratis (Democratische Rechtstaat)
11. Berfungsi
sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Walfare Rechtstaat)
12. Transparansi
dan Kontrol Sosial
KELEBIHAN BUKU
Buku tulisan
Fajlurrahman Jurdi sangat menambah wawasan mengenai teori negara hukum karena
dilengkapi dengan banyak teori, pandangan ahli, dan catatan kaki disetiap
kutipan sehingga memudahkan dalam mencari sumber bacaan.
KEKURANGAN BUKU
Terdapat beberapa penggunaan kata asing yang masih sulit
dimengerti dan cara penulisan masih ada beberapa kekurangan, terlebih untuk
buku ilmiah seperti ini. J