Selasa, 16 Oktober 2018

Resensi Buku Teori Negara Hukum, Oleh Isra Nurpadilah




RESENSI BUKU :TEORI NEGARA HUKUM KARYA FAJLURRAHMAN JURDI


JUDUL BUKU                       : TEORI NEGARA HUKUM
PENULIS                                : FAJLURRAHMAN JURDI
PENERBIT                             : SETARA PRESS
TAHUN TERBIT                   : 2016
JUMLAH HALAMAN          : 258 HALAMAN







Peresensi
Isra Nurpadliah

Fajlurrahman Jurdi adalah satu dari beberapa dosen muda yang berkompeten di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Beliau telah melahirkan beberapa tulisan dibidang Hukum yang satu diantaranya yaitu buku yang pada kesempatan ini akan kami Resensi. Buku dengan judul “Teori Negara Hukum” adalah sebuah buku yang secara mendalam berisikan kajian filosofis dan historis mengenai konsepsi negara hukum dan juga menuangkan banyak pemikiran dari tokoh-tokoh ahli yang sangat membantu dalam pembelajaran tentang negara hukum.


BAGIAN I : SEJARAH NEGARA HUKUM
            Berbicara mengenai sejarah negara hukum, kita juga akan sedikit banyak berbicara mengenai sejarah demokrasi. Dalam buku Demokrasi : Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran karya Saiful Arif yang dijadikan sebagai satu dari beberapa referensi dalam buku Teori Negara Hukum hasil tulisan Fajrlurrahman Jurdi ini menyatakan bahwa awal mula demokrasi bahkan telah dikenal sebelum munculnya Socrates. Digambarkan bahwa hampir semua studi mengenai negara hukum dan demokrasi dewasa ini hanya terhenti pada masa trio philosopher, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles.
            Plato dalam politea yang merupakan gagasan awal negara dan hukum yang diperkuat dengan politikos yaitu ahli negara, serta staatman dan nomoi yaitu hukum ”the law” menganggap bahwa kelas-kelas dalam negara terdiri atas para pemimpin, para tentara, dan para pekerja dengan bentuk pemerintahan aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani.
      Politea yang digagas oleh Plato beranggapan bahwa negara yang ideal adalah hasil kepemimpinan pemimpin yang cerdas. Olehnya, hukum merupakan sebagian dari pengetahuan seorang pemimpin, yaitu filsuf raja.
         Namun, dalam Politicus Plato menyadari bahwa seni memimpin negara termasuk seni membuat undang-undang. Karena anggapan lama Plato yaitu posisi filsuf raja lebih tinggi dari hukum, maka dalam Politicus ini, hukum dan undang-undang dibuat hanya sesuai kebutuhan. Maka dari itu, Plato berpendapat bahwa hukum tidaklah mutlak, tapi dapat berubah sesuai kebutuhan. Plato juga mengatakan bahwa “hukum bukan semata-mata untuk menjaga ketertiban manusia saja, melainkan sebagai obat untuk menyembuhkan kejahatan manusia”.
Sebagai konsep pembatasan kekuasaan, konstitusi klasik masih bersifat materil. Hal ini tergambar dalam Politenia dan Nomoi. Politenia disepadankan dengan konstitusi  dan nomoi adalah undang-undang biasa. Politenia mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada Nomoi karena Politenia mempunyai kekuasaan yang membentuk, sedangkan pada Nomoi tidak ada karena nomoi hanya merupakan materi yang harus di bentuk supaya tidak bercerai berai.
Menurut Aristoteles, politik merupakan suatu cabang pengetahuan praktis. Politik merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok. Menurutnya, negara adalah ciptaan alam karena manusia sendiri tidak dapat mencukupi dirinya sendiri sehingga dianggap sebagai suatu bagian dalam hubungan secara keseluruhan. Menurutnya bentuk pemerintahan terbaik adalah monarki, aristokrasi dan politeia. Sementara tirani, oligarki dan demokrasi adalah bentuk kemerosotan dari bentuk pemerintahan terbaik tersebut.
Menurut Aristoteles, manusia merupakan makhluk polis (negara-kota) yang memiliki kecendrungan untuk membentuk suatu kelompok, bertindak dalam kelompok dan bertindak sebagai kelompok. Tujuan dan sasaran politik disamakan dengan tujuan kehidupan manusia pada umumnya, yaitu untuk mencapai eudaimonia (kesejahteraan yang sangat penting bagi setiap orang).
Enam konsep pemerintahan menurut Aristoteles:

Rule by a Single Person
Rule by a Select Few
Rule by the Many
True Government
Monarchy
Aristocracy
Polity
Corrupt Government
Tyrany
Oligarchy
Democracy
Source: The Politics : Big Ideas Simply Explained (2013:43)
Tahir Azhary, mengatakan bahwa secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles ketika ia mengintroduksi Nomoi. Dalam nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal-bakal  pemikiran tentang negara hukum. Aristoteles yang merupakan murid dari Plato mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait dengan “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusialaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Dalam kaitannya dengan buku Plato Politea, Theo Huijbers menulis bahwa Plato melukiskan suatu model tentang negara yang adil. Menurut Plato, negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil. Lebih lanjut, untuk mengefektifkan kelembagaan kenegaraan, Plato membagi penduduk dalam tiga golongan, yaitu:
1.      Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata yang merupakan petani, tukang, dan saudagar. Tugas mereka adalah meghasilkan keperluan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka pulalah yang merupakan dasar ekonomi dalam masyarakat karena mereka menghasilkan, namun tidak dapat ikut serta dalam pemerintahan.
2.      Golongan Tengah, yaitu penjaga atau pembantu dalam urusan negara. Tugas mereka adalah mempertahankan negara dari serangan musuh dan menjamin bahwa rakyat mematuhi undang-undang. Dengan dasar bahwa mereka adalah pengabdi negara, maka golongan tengah ini harus tinggal diasrama dan tidak boleh berkeluarga. Hubungan mereka, laki-laki dan perempuan diatur dengan pengawasan yang rapi oleh negara. Anak-anak yang lahir tidak bersatu bapak dan satu ibu, namun mereka lahir dan saling mengaku bersaudara.
3.      Golongan Atas, yaitu kelas pemerintah atau filosof. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dalam mengawasi pelaksanaannya.
Konsepsi Negara hukum dalam sejarah klasik itu kemudian dikembangkan di abad pencerahan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Baron de Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan sebagainya yang kemudian menjadi dasar berkembangnya teori hukum modern. Sejarah sentralnya tetap bermula dari konsepsi awal Sokrates, Plato dan Aristoteles. Itulah sebab pemikiran mereka membentang dari filsafat hingga negara yang kesemuanya merupakan “satu paket” pemikiran yang secara terus menerus direproduksi dan tidak pernah hilang dalam sejarah manusia.
BAGIAN II : TEORI NEGARA HUKUM
1. TEORI NEGARA HUKUM
            Selanjutnya, bagian kedua buku ini berbicara mengenai negara hukum dengan segala teorinya. Hukum dianggap sebagai pelindung disatu sisi, dan disisi lainnya menampilkan bahwa hukum juga menjadi pembatas. Hukum tidak dilihat sebagai suatu tujuan, namun hanya sekedar alat bantu bagi manusia.
            Untuk mengatur manusia yang pada dasarnya lemah dan tidak sempurna, hukum menjadi alat bantu personal. Hukum diciptakan untuk mengatur ketertiban bersama. Hukum juga menjadi alat bantu sosial dan  menekankan posisi hukum sebagai instrumen negara adalah upaya agar hukum sebagai instrumen memiliki kekuatan legitimasi.
Apabila kita merujuk konsep hukum masa kini, maka bangunan dasar negara harus merespon realita sosial (social reality) dan hukum dapat digunakan untuk mengikat keteraturan realita sosial tersebut. Sebab itu, tipe tindakan negara hukum harus merujuk kepada dimensi-dimensi hakiki masyarakat, bahwa masyarakat sebagai basis sosial harus di jadikan sebagai subyek sosial.
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan manusia. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan, gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 S.M.
Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law,juga berkaitan dengan konsep nomoracy yang berasal dari perkataan nomos dan cratos. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan demos dan cratos atau kratien dalam demokrasi. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Hal yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Konsep tentang negara hukum mengalami pertumbuhan menjalang abad XX yang ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (welfare state) yaitu negara harus aktif dan turut serta dalam kegiatan masyarakatnya, sehingga dapat menjamin kesejahteraan bagi setiap masyarakatnya.
Plato, dalam politea menguraikan betapa penguasa pada masa 429 S.M-346 S.M sangatlah tirani, haus dan gila kekuasaan, serta sewenang-wenang dan sama sekali tidak memedulikan rakyatnya. Selanjutnya dalam politicus, Plato memaparkan konsep agar suatu negara dijalankan dan dikelola berdasarkan hukum (rule of the game). Sedangkan dalam buku ketiganya yang berjudul nomoi, Plato lebih menekankan konsepnya pada para penyelenggara negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kekuasaannya dengan hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya.
Plato mengajukan hukumm sebagai kerangka dasar untuk mengatur kehidupan umat manusia, dan dengan hukum itulah dasar-dasar negara sebagai basis awal sejarah demokrasi diperkenalkan. Basic idea  Plato tersebut melihat bahwa, kepentingan banyak orang harus diutamakan diatas kepentingan pribadi dan golongan. Namun para pemikir hukum kenegaraan modern telah melakukan perubahan atas ide dasar Plato tersebut. Oleh karena itu, muncullah Friedrich Julius Stahl yang memperkenalkan negara hukum menurut zamannya dan pendapatnya terkait ciri-ciri rechtsstaat, yaitu:
1.      HAM;
2.      Pembagian kekuasaan berdasar trias politica untuk menjamin HAM;
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan; dan
4.      Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Menurut Sudargo G. ada 3 ciri negara hukum, yaitu:
1.      Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap seseorang;
2.      Asas legalitas;
3.      Pemisahan kekuasaan.
Negara hukum merupakan salah satu ciri negara demokrasi, yang menurut Frans Magnis Suseno ciri-cirinya meliputi :
1.      Negara hukum;
2.      Pemerintahan dibawah kontrol masyarakat;
3.      Pemilihan umum yang bebas;
4.      Prinsip mayoritas;
5.      Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.
Sedangkan unsur-unsur negara hukum rule of law menurut A.V.Dicey dalam bukunya An Introduction to The Study of The Law of The Constitution adalah:
a.       Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau terbukti melanggar aturan hukum yang ada;
b.      Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law);
c.       Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan rule of law terdapat pada konsep peradilan administrasi yang merupakan sarana dan menjadi ciri menonjol dari konsep rechtsstaat. Sebaliknya, pada konsep rule of law, peradilan administrasi tidak diterapkan karena masyarakat memiliki kepercayaan yang demikian besar kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol dari konsep rule of law adalah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (just law).
2. NEGARA HUKUM PROFETIK
            Istilah profetik pertama kali diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Beliau memperkenalkan apa yang disebut dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP). Kata profetik sendiri berarti kenabian. Negara hukum profetik bisa juga diartikan negara Islam yang memiliki keterkaitan dengan setting historis masyarakat Madinah pada masa Rasulullah Muhammad SAW hidup.
Menurut Happy Sutanto, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah komunitas atau masyarakat yang ideal atau utama (khairu ummah) mirip dengan “Negara Utama”-nya Al-Farabi (Al-Madinah al-Fadhilah). Untuk mencapai tujuan itu, perlu “kesadaran aktif sejarah” umat manusia. Asal-usul Ilmu Sosial Profetik  dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy.
Filsafat kenabian dianggap penting dimasa kini. Disinilah pentingnya, bahwa sejarah kenabian beserta konstruksi negara yang dibangun dimasa lalu, menjadi kemestian untuk direkonstruksi dimasa kini. Masa dimana kekuatan politik, ekonomi dan kultural mellingkar dalam proses demokrasi.
Negara Islam (Islamic state) adalah istilah yang melekat dalam upaya untuk mengetengahkan bahwa Islam bukan hanya agama yang mengatur kehidupan akhirat, tetapi Islam juga adalah suatu keyakinan yang berpadu dengan kehidupan manusia. Meskipun Islam tidak memperkenalkan bentuk negara secara rinci, tetapi secara substansial, suatu negara yang menganut asas nomokrasi, yang pertama-tama adalah merujuk pada teks-teks dasar Islam dalam proses pembangunan.
Majid Khadduri mengatakan,
“sumber-sumber hukum Islam tentang bangsa-bangsa segaris dengan kategori-kategori yang didefinisikan oleh para ahli hukum modern dan Undang-Undang Lembaga Keadilan Internasional, yakni persetujuan, kebiasaan, akal(reason), dan kekuasaan. Qur’an menggambarkan sumber hukum yang otoratif; sunnah mirip kebiasaan; aturan-aturan yang terungkap dalam perjanjian dengan nonmuslim dapat disejajarkan dengan kategori persetujuan; dan pendapat-pendapat para khalifah dan ahli hukum Islam yang didasarkan pada deduksi dan analogi hukum dapat dimasukkan dalam kategori akal.”
Karenanya, suatu nomokrasi Islam harus tetap menggunakan sumber utama Islam sebagai dasar-dasar kebijakan atau landasan pengambilan keputusan. Nomokrasi islam adalah suatu model tersendiri bagi bangunan dasar suatu negara.
Nomokrasi islam adalah suatu bentuk negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
1.      Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.      Prinsip musyawarah;
3.      Prinsip keadilan;
4.      Prinsip persamaan;
5.      Prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia;
6.      Prinsip peradillan bebas;
7.      Prinsip perdamaian;
8.      Prinsip kesejahteraan;
9.      Prinsip kataatan rakyat.
Tetapi prinsip yang paling mendasar dari nomokrasi Islam adalah kedaulatan, karena dalam nomokrasi Islam, kedaulatan hanya milik Tuhan. Agen manusia, seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran disebut sebagai khilafah yang berarti bahwa agen ini tidak memiliki fitrah yang berdaulat, tetapi hanya merupakan kuasa dari pemegang kedaulatan de jure maupun de facto dari Yang Maha Kuasa.
Episentrum dasar manusia adalah Tuhan. Kehadiran manusia disebabkan oleh kehendak Tuhan, sehingga yang mengatur pola dasar kehidupan manusia adalah Tuhan
3. RECHTSSTAAT
            Istilah Rechtsstaat atau yang dalam Bahasa Jerman dituliskan Rechtsstaat dan dalam Bahasa Inggris ditulis the lawstate atau the supreme state of law yang berarti status hukum yang tertinggi dan berkekuatan ruiing.
            Rechtsstaat (negara hukum) merupakan istilah yang dipakai untuk merujuk aliran hukum yang ada pada Eropa Kontinental, atau disebut juga dengan civil law system. Menurut Philipus M.Hadjon, paham rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme sehingga perkembangannya bersifat revolusioner, dan bertumpu pada system hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern roman law”. 
Pada abad ke-19, di Eropa Kontinental dikenal konsep negara hukum liberal. Penggagas paham  hukum liberal ini adalah Imanuel Kant. Sifat liberalnya bertumpu pada liberty (vrijheid) dan asas demokrasi yang bertumpu pada equality (gelikheid). Dari prinsip liberty  ini, kemudian lahir prinsip selanjutnya yaitu freedom from arbitary and unreasonable exercise of the power and authority.
Karakteristik dari Civil Law adalah administrative, dan karakteristik dari common law adalah judicial. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan pada masa kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan menonjol dari Raja adalah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang selanjutnya membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang cara memutus suatu sengketa. Karena besarnya peranan administrasi negara, maka dalam system kontinental ini juga muncul cabang hukum baru yang disebut droit administratif yang intinya adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat. Sedangkan di Inggris, kekuasaan utama raja adalah memutus perkara.
Dalam konsep rechstaat menurut Imanuel Kant, negara berfungsi sebagai penjaga keamanan baik preventif maupun represif yang melarang negara untuk ikut campur dalam urusan kemakmuran rakyat, karena rakyat harus bebas dalam mengusahakan kemakmurannya. Sedangkan Friedrich Julius Stahl dengan menolak absolut monarki menyatakan bahwa konsep rechtsstaat memiliki 4 unsur, yaitu:
1.      Hak-hak dasar manusia.
2.      Pembagian kekuasaan.
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan.
4.      Peradilan tata usaha negara.
            Secara tegas, Philipus M.Hadjon membagi rechtsstaat kedalam dua varian, yakni:
Pertama : Liberal-democratische rechtsstaat
            Karena sifatnya yang liberal, pemikiran ini bertumpu atas pemikiran dari John Locke, Montesquieu, dan Immanuel Kant. Sifatnya yang demokratis bertumpu atas pemikiran kenegaraan dari I.I.Rousseau tentang kontrak sosial. Prinsip liberalnya bertumpu pada liberty (vrijheid) dan asas demokrasi yang bertumpu pada equality (gelikheid).
            Atas dasar demokratis, rechtsstaat dikatakan sebagai negara kepercayaan timbal balik, yaitu kepercayaan dari rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya.
            Ide dasar dari  rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Dalam konsep rechtsstaat yang liberal dan demokratis, inti perlindungan hukum bagi rakyat adalah perlindungan terhadap kebebasan individu.
Kedua : Social Rechtsstaat
S.W Couwenberg berpendapat bahwa social rechtsstaat merupakan varian dari liberal-democratische rechtsstaat. Varian dari social rechtsstaat terhadap liberal-democratische rechtsstaat antara lain, interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari wet dan wetgeving. 
Secara keseluruhan, kedua konsep rechtsstaat yang diuraikan oleh Hadjon diatas jelas merumuskan prinsip-prinsip yang umumnya digunakan ketika para ahli menguraikan konsep negara hukum. Secara prinsip, kedua konsep rechtsstaat tersebut tidak berbeda, karena fokusnya adalah pembatasan kekuasaan untuk menghindari machsstaat.
4. COMMON LAW
Sistem hukum Eropa kontinental, rechtsstaat muncul sebagai suatu sistem yang rasional dan revolisioner terhadap absolutisme. Sedangkan, sistem hukum Anglo Saxon The Rule of Law berkembang secara evolusioner sebagai usaha untuk melepaskan diri dri sistem absolutisme.
Konsep The Rule of Law oleh A.V.Dicey mempunyai tolak ukur atau unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Supremasi hukum atau supremacy of law.
2.      Persamaan di depan hukum atau equality before the law.
3.    Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan atau the constitution based on individual right.
Keberadaan sistem hukum Anglo Saxon yang disebut sebagai common law sistem adalah satu dari sekian perangkat penting dalam upaya mendorong pemerintahan yang demokratis, sekaligus menghindari totaltiranianisme. Dengan konsep yang ada, maka pemerintahan yang diharapkan adalah pemerintahan yang didasarkan pada kepentingan rakyat.
E.C.S Wade dan Godfrey Philips mengemukakan tiga sanggahan atas permasalah dari  pengertian The Rule of Law dari Dicey. Pertama, common law tunduk kepada kodifikasi oleh parlemen, dengan demikian ada kemungkinan banyak kebebasan fundamental diganti oleh statute; kedua, common law tidak menjamin keadaan sosial-ekonomi warga negara; ketiga, meskipun tetap esensil bahwa legal remedies seyogyanya efektif, pengalaman negara-negara barat menunjukan bahwa perlu diletakkan batas-batas terhadap kekuasaan legislatif agar tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan di pihak lain, The Eropean of Human Right telah menunjukkan perlunya supra-national remedies.
5. SOSIALIST LEGALITY
            Dalam konsep negara hukum socialist legality, hukum ditempatkan di bawah sosialisme. Hukum adalah alat untuk mencapai sosialisme. Socialist Law adalah nama resmi untuk sistem hukum di negara-negara komunis. Pada dasarnya, kata sosialis mengacu pada pemikiran Marxist-Leninist.  Teori Marxist dibangun diatas doktrin “dialetika/historial materialisme” yang berpendapat bahwa masyarakat bergerak menuju berbagai tingkatan dan fase didalam menjalaninya dan itu merupakan evolusi dan pembangunan.
Teori Marxist-Leninist mengagung-agungkan kedudukan istimewa ekonomi dalam hubungan kemasyarakatan, dengan mengambil kekuatan mengikat dari politik dan hukum. Tradisi hukum sosialis bukan terutama didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi, melainkan pada dasar kebijakan ekonomi dan sosial. Teori ini juga menganggap hukum sebagai instrument (alat) kebijaksanaan dalam bidang ekonomi dan sosial.
Kelompok negara-negara yang telah menerima socialist law dapat dibagi ke dalam dua kategori utama, yaitu:
1.          Jurisdiksi sosialis kuno, seperti Polandia, Bulgaria, Hungaria, Czechoslovakia, Rumania, Albania, Republik Rakyat China, Republik Rakyat Vietnam, Republik Rakyat Demokratik Korea, Mongolia (merupakan sistem hukum nasionalnya yang tertua didalam kelompok ini) dan Kuba.
2.          Sistem hukum sosialis yang terbaru atau yang kemudian berkembang, seperti Republik Demokratic Kamboja, Laos, Mozambique, Angola, Somalia, Libya, Ethiopia, Guiena, dan Guyana.
State Administration of Radio, Film, and Television juga merupakan lembaga yang mengontrol konten semua radio, televisi , satelit, dan internet siaran di China (termasuk, di mana ia mampu menangkap siaran satelit asing).
Melihat hal tersebut, kita dapat melihat bahwa komisi-komisi negara dalam konteks socialist legality juga dikenal, sehingga apabila dikonversi dalam konteks negara hukum Indonesia, keberadaan komisi-komisi negara ini bisa diterima sebagai sesuatu yang tidak terbantahkan.
6. NEGARA HUKUM INTEGRALISTIK
            Ide negara integralistik merupakan paham “kekeluargaan” menurut pemikiran Soepomo, yang berpandangan bahwa prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam Negara seluruhnya, cocok dengan fikir ketimuran. Dikatakannya, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Dikatakannya, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Struktur social Indonesia meliputi antara aliran pikiran dan semangat kebatinan, struktur kerohanian yang bersifat dan cita-cita tentang persatuan hidup, antara persatuan kawulo dan gusti, persatuan dunia luar dan dunia batin, persatuan mikrokosmos dan makrokosmos, persatuan rakyat dan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide integralistik atau ide totaliter Bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam susunan tata Negara yang asli.
            Soepomo menjelaskan:
Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya.Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisahkan.
            Soepomo menolak perspektif individualis Eropa-Barat karena menghasilkan imperiaisme dan sistem eksploitasi. Perspektif kelas pada kediktatoran proletariat juga dibuang karena meskipun sesuai dengan kondisi khas Uni Soviet, perspektif ini bertentangan dengan sifat asli masyarakat Indonseia. Kemudian, soepomo mengajukan dua model negara integralistik yang di dalamnya dapat dijadikan pedoman. Pertama, ia menyebut negara Jerman Nazi. Ia mengutip asas-asas Nazi mengenai “Die Ganze der politischen Einheit des Volkes” (keseluruhan kesatuan politik rakyat), “ein totaler Fulrerstaat” (negara di bawah kepemimpinan mutlak), dan“Blut-und-Boden-Theorie” yang artinya sebagai kesatuan darah dan wilayah antara pemimpin dan rakyat.
            Contoh kedua ialah negara totaliter Jepang. Soepomo mengatakan bahwa negara itu dibentuk atas dasar ideology mengenai kesatuan kekal, lahir dan batin antara Yang Paling Mulia Tenno Heika (Kaisar), negara, dan rakyat, sedangkan keluarga kekaisaran yang disebut “koshitu” menjadi keluarga tertinggi. Soepomo menganggap bahwa asas kesatuan dan kekeluargaan ini pantas diterapkan pada negara Indonesia yang akan dibentuk.
7. NEGARA HUKUM PANCASILA
            Para pendiri Negara telah memilih suatu paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu pada tradisi hukum Barat, melainkan juga berakar pada tradisi asli bangsa Indonesia. Paradigma tersebut dirumuskan dalam lima prinsip bernegara, yaitu  ketuhanan (theisme),  kemanusiaan (humanisme), kebangsaan (nasionalisme),  kerakyatan (demokrasi), dan keadilan social (sosialisme) kemudian dipadu dalam satu konsep yang disebut Pancasila. Kelima nilai Pancasila tersebut bersifat universal, tetapi memiliki nilai partikularis pada tradisi bangsa Indonesia.
            Menurut Mahfud, sebagai cita hukum, Pancasila menjadi bingkai bagi sistem hukum dalam Negara Hukum Pancasila, sebagai suatu sistem khas Indonesia. Konsep negara hukum Pnacasila mengandung lima karakteristik, yaitu: (1) Negara Hukum Pancasila berasas kekeluargaan, mengakui hak-hak individu tetapi dengan mengutamakan kepentingan nasional; (2)Kepastian hukum dan berkeadilan; (3) Berlandaskan nilai-nilai keagamaan (religious nation state); (4) Memadukan hukum senagai sarana rekayasa sosial dan hukum sebagai cerminan budaya masyarakat; dan (5) Basis pembentukan hukum mestilah pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal.
8.  NEGARA HUKUM POSTMODERN
            Istilah postmodern atau pasca modern adalah istilah yang digunakan untuk melakukan kritik terhadap praktik-parktik modernitas. Kritik dan persinggungan antara dunia modern yang telah menciptakan kemunduran digugat oleh teori pasca modern. Manusia modern dapat dipahami sebagai makhluk yang tersentak dari keterpukauannya terhadap  alam, sehingga mental partisipasi yang membenamkan manusia ke dalam proses-proses kosmos menjadi dinstansi.
            Menurut Stanley J. Grenz, ada enam narasi di dunia ini yang menjadi tulang punggung berkembangnya aliran postmodern, yaitu:
1.      Narasi tentang mitos kemajuan versi dunia Barat.
2.      Narasi Marxisme tentang revolusi dan sosialisme internasional.
3.      Narasi Fundamentalis Kristen mengenai perlunya kembali ke masyarakat yang diperintah oleh nilai-nilai Kristen dan Alkitab.
4.      Narasi Fundamentalis Islam mengenai perlunya kembali ke masyarakat yang diperintah oleh nilai-nilai Islam menurut Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad.
5.      Narasi Hijau mengenai penolakan terhadap nilai kemajuan dan perlunya kembali masyarakat diatur dengan nilai-nilai ekologis.
6.      Narasi Paradigma Baru mengenai lompatan besar dan mendadak pada cara baru untuk menjadi manusia dan cara baru untuk mengerti dunia.
Kritik terhadap postmodern adalah kilas balik dari beberapa penjaga proyek modernitas. Bahwa modernitas dengan segala rasionalisasinya justru memberikan harapan bagi masa depan. Namun jika kita melihat kritik postmodern dari sudut pandang lain, bahwa kemapanan adalah merupakan obyek yang diserang oleh postmodern.
Negara hukum postmodern adalah negara hukum yang memiliki kreatifitas menempatkan warga negara bukan sebagai penjaga malam sebagaimana dalam aliran hukum klasik. Negara hukum postmodern bekerja secara teratur mematahkan dominasi kapitalisme, menggugat otoritas globalisasi, juga mematahkan argumentasi narasi-narasi hukum yang telah ada sebagai suatu pertahanan status quo yang menyebabkan negara bisa memaksakan kehendak tanpa reserve.
9. NEGARA HUKUM PASCA KOLONIAL
       Istilah Negara Hukum Pascakolonial digunakan untuk menemukan suatu kajian baru bagi negara jajahan. Ada sejumlah jejak yang ditinggalkan penjajah atau kolonialis sebelum meninggalkan negara jajahannya. Selain benda, ada juga peninggalan berupa pengetahuan dan keyakinan seperti hukum dan undang-undang kolonial, agama kolonial, atau perangkat bahasa kolonial, kota kolonial atau rupa yang sejenis dengan itu.
            Negara hukum pasca kolonial adalah negara hukum yang belum memiliki hukumnya sendiri, dimana hukum yang digunakan masih warisan masa lalu, dan hukum yang dibuat dimasa kini masih merupakan bagian dari warisan pemikiran masa lalu. Di Indonesia dapat kita lihat pada :
1.         Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3.         Sebagian hukum Agraria.
4.         Hukum Adat yang dikonstruksi oleh Snouck Hurgronje.
Code civil yang diterapkan Belanda di Indonesia merupakan warisan jajahan Prancis di Belanda, atau dengan kata lain Belanda adalah negara jajahan Perancis yang kemudia Menjajah di Indonesia dan menerapkan Code civil  warisan Perancis tersebut. Seharusnya Indonesia tidak lagi menggunakan hukum perdata dan hukum pidana peninggalan kolonial.
BAGIAN III : PANDANGAN TOKOH TENTANG NEGARA HUKUM
1.      NICCOLO MACHIAVELLI
Niccolo Machiavelli yaitu tokoh yang lahir pada tahun 1469 di Italia dan pada masa puncak keemasan Lorenzo yang agung. Karyanya yang sangat terkenal adalah II Prancipe (sang pangeran). Ide dasar karyanya adalah ia membuang jauh pengaruh agama terutama Kristen. Ia merupakan tokoh yang realistis.
Machiavelli melihat negara berada dalam dua kutub, yaitu kekuasaan dan anarki. Anarki adalah tindakan melawan hukum atau aturan. Oleh karena itu, tugas seorang pemegang kekuasaan adalah mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaannya. Oleh sebab itu, seorang penguasa diperkenankan berbuat apa saja selama untuk melanggengkan kakuasaannya.
          Machiavelli yang seorang realistis menuntut agar ada jarak antara moral, hukum, dan agama dengan kekuasaan. Baginya, tidak ada negara hukum dalam kamus berfikirnya. Machiavelli memiliki pandangan dan anjuran yang rumit tentang sebuah pemerintahan yang sukses.
2.      THOMAS HOBBES
Thomas Hobbes dilahirkan di Malmesbury, sebuah kota kecil yang berjarak 25 kilometer dari London. Ia lahir pada tanggal 15 April 1588, dimasa armada Spanyol sedang menyerbu Inggris. Karya Thomas Hobbes yang paling terkenal adalah Leviathan dan De Cive. Gagasan-gagasannya pada saat itu mendukung “Status Quo yaitu kekuasaan absolut raja-raja Inggris”.
Hobbes mengibaratkan negara sebagai leviathan, sejenis makhluk raksasa yang ganas. Dalam filsafatnya, leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Leviathan tidak hanya ditakuti tetapi juga dipatuhi segala perintahnya. Hobbes menjuluki negara kekuasaan (machstaat) sebagai Leviathan karena negara ini menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan”.
Jika ditilik dari gagasan Hobbes di atas, Negara Hukum yang dikehendaki oleh Hobbes sebenarnya hanya bermula dari upaya untuk mengakhiri social chaos yang ia sebut sebagai keadaan alamiah itu. Ia menghendaki pembentukan negara untuk mengakhiri masyarakat alamiah, dan negara memiliki hukum sendiri untuk mengatur mereka yang menyerahkan haknya pada “perjanjian sosial”. Hukum bukanlah konsep yang membentuk tatanan sosial yang beradab dan setara dengan konsep negara hukum modern yang kita pahami saat ini, namun hanya terbatas pada pembentukan asosiasi atau kelompok yang disebut sebagai negara.
3.      JOHN LOCKE
             John Locke lahir pada 29 Agustus 1632 dan meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun. Ia adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi tokoh utama dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal. Ia dianggap sebagai salah satu figur penting diera pencerahan.
            Pandangan John Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul “Dua Tulisan tentang Pemerintahan (Two Treatises of Civil Government)”. Ia menjelaskan pandangannya itu dengan menganalisis tahap-tahap perkembangan masyarakat. Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).
1.         The State of Nature (keadaan alamiah). Merupakan situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak yang sama.
2.         The State of War (keadaan perang). Keadaan perang ini diakibatkan karena terciptanya uang. Dengan uang, maka manusia dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya sehingga manusia mulai mengenal status tuan-budak, majikan-pembantu, dan status-status yang hierarkis lainnya.
3.         Commonwealth (negara). Untuk mengatasi keadaan perang dengan tetap menjamin hak milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asal”. Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth). Dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua hal penting, yaitu hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang bersala dari Tuhan.
4.      BARON DE MONTESQIEU
Gagasan Monstesqui terkait dengan lembaga Negara hampir sama dengan gagasan John Locke. Tiga lembaga yang diajukan oleh Monstesquieu adalah kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Sumbangan Monstesquieu yang besar terhadap Negara adalah teori pemisahan kekuasaan. Dalam memulai pembahasan tentang pemisahan kekuasaan, ia berbicara dalam konteks konstitusi Inggris. Inti gagasan Montesquieu dalam meletakkan negara hukum modern adalah upaya seriusnya dalam memisahkan antara tiga lembaga negara, dalam fungsi dan kewenangan yang berbeda. Dengan demikian, ia menjadi tokoh penting yang meletakkan negara hukum modern.
5.      JEAN-JACQUES ROSSEAU
Jean-Jacques Rousseau lahir di Jenewa, Swiss, pada tanggal 28 Juni 1712 sebagai putra seorang pembuat jam. Karyanya yang paling monumental adalah Du Contract Sosial; ou Principes du Droit Politique (tentang kontrak sosial, atau prinsip politik, 1762).
Rousseau terkenal dengan konsepnya tentang perjanjian masyarakat. Keadaan manusia yang terikat oleh peranjian masyarakat itu, digambarkan dengan kalimat pembukaan kontrak social. Ia berkata bahwa selama manusia tidak dapat melahirkan sebuah kekuatan baru dan hanya menyatukan kekuatan yang sudah ada,  mereka tidak akan memiliki cara lin untuk mempertahanka diri, selain informasi yang sudah ada, yakni dengan satu agregsi yang merupakan tambahan kekuatan yng cukup besar untuk mengatasi masalah pertahanan diri mereka. 
6.      ROBERT MORRISON MACIVER
Robert Marisson Maciver lahir, 17 April 1882 di Strornoway, Outer Hebrides, Skotlandia dan meninggal pada tanggal 15 Juni 1970 di New York City. Ia adalah seorang sosiologis kelahiran skotlandia. Gagasannya tentang negara hukum berada dalam bukunya yang berjudul The Modern State, (1962). Menurutnya, negara mengatur hubungan-hubungan lahir yang penting daripada manusia di dalam masyarakat. Oleh karena itu, MacIver menggap perlunya perlembagaan yang benar-benar (politik). Dalam politik ini, ada dua mesin utama, yaitu kedaulatan yang dijalankan oleh pemerintah negara dan hukum sebagai mesin terpenting untuk menjalankannya. Maclver membedakan masyarkat dalam “makna social” dan masyarakat dalam “makna politik”.  Dalam konteks inilah terlihat pandangan Maclver tentag Negara hukum. Menurutnya Negara menyokong dan mempergunakan hidup kemasyarakatan, memberikan “pembatasan” serta “keluasan” pada Negara.
7.      HANS KELSEN
Hans Kelsen lahir dari pasangan Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Ia dikenal sebagai ahi hukum positivis dan memiliki pandangan-pandangan yang lebih kuat untuk mendukung sluruh asumsi teoitis kaum positivis. Oleh karena itu, ia sering dijuluki sebagai gawang positivism. Hans Kelsen menamakan sebuah teori “hukum murni” yang menyatakan bahwa teori ini merupakan hukum positif. Kelsen mempersoalkan negara dari segi istilah yang dipersonifikasikan dalam dua kutub. Konsepsi Kelsen melihat negara sebagai “suatu masyarakat” dan konsepsi yang melihat negara sebagai “pemerintah, atau para subyek pemerintah” ditunjukkan dengan menggunakan pendekatan berbasis hukum. Kelsen menghendaki agar negara dibahas dalam teori ilmu hukum murni.
8.      GOUW GIOK SIONG
Gouw Giok Siong yang juga dikenal dengan nama Sudargo Gautama, adalah seorang pakar hukum perdata internasional dan hukum antargolongan. Ia lahir di Jakarta pada 1982. Pemikiran Siong tentang negara hukum dimulai dengan membahas sifat-sifat negara hukum. Gouw Giok Siong membahas mengenai sifat-sifat Negara hukum. Dalam suatu Negara hukum menurut Siong terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perseorangan. Negara tidak mahakuasa. Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan Negara terhadap rakyatanya dibatasi oleh hukum. Kita melihat bahwa individu pun memiliki hak terhadap Negara
9.      JURGEN HABERMAS
Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Habermas dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1929 di Kota Dusseldorf, Jerman. Habermas adalah seorang tokoh Marxisme Barat. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu faktisitas hukum dan validitas hukum yang berdiri sendiri.
Habermas menegaskan, struktur kesadaran modern dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum sebagaimana halnya dengan hukum privat borjuis, yang terutama dipilah-pilah menurut tiga bagian formal, yaitu:
1.      Konteks Positivisme, hukum modern dilihat sebagai hukum yang diputuskan secara positif. Hukum ini mengekspresikan kehendak pembuat hukum untuk mengatur urusan-urusan sosial secara konvensional dengan cara organisasi yudisial.
2.      Konteks Legalisme, di samping kepatuha umum terhadap hukum, hukum modern tidak memberikan motif moral apapun kepada subyek hukum; hukum modern melindungi kecenderungan pribadi di dalam batas-batas yang telah ditentukan.
3.      Konteks Formalitas, hukum modern mendefinisikan domain-domain di mana individu-individu sebagai pribadi dapat dengan sah membuat pilihan bebas (willkur).
       Positivisasi, legalisasi, dan formalisasi hukum berarti bahwa validitas hukum tidak dapat lagi dipenuhi dengan otoritas tradisi moral yang diterima apa adanya melainkan memerlukan suatu landasan otonom, yaitu landasan yang tidak hanya bergantung pada tujuan-tujuan yang telah ditakdirkan.
10.  MICHEL FOUCAULT
Michel Foucault lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926 dan merupakan seorang filsuf Perancis, sejarawan ide, teoritisi sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra. Konsep inti dari gagasan Foucault dalam melihat kekuasaan adalah argumentasinya tentang kekuasaan yang terkait dengan kedisiplinan. Ia meletakkan disiplin sebagai sarana control pada aktivitas individu. Negara dan konsep hukum yang diuraikan oleh Foucault jelas berpijak pada instrument pendisiplinan. Karena yang dimaksud oleh Foucault dengan Panopticism merupakan teknik produksi disiplin dan normalisasi.
11.  JIMLY ASSHIDDIQIE
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa “ada dua belas prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu Negara hukum modern”. Kedua belas prinsip pokok oleh Jimly ini diaparkan oleh penulis secara jelas dan rinci serta terurut sehingga pemabaca dapat memahami dengan jelas setiap prinsip yang dipaparkan disertai dengan penjelasan yang terkait sesuai dengan ungkapan atau pandangan dari tokoh yang merupakan tokoh akademis di Indonesia dengan segala prestasi dan pencapaiannya di dalam dunia akademik.
Kedua belas prinsip pokok tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2.     Persamaan dalam Hukum (Equality Before The Law)
3.      Asas Legalitas (Due Process of Law)
4.     Pembatasan Kekuasaan
5.     Organ-organ Eksekutif Independen
6.     Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7.     Peradilan Tata Usaha Negara
8.     Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)
9.     Perlindungan Hak Asasi Manusia
10.  Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)
11.  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Walfare Rechtstaat)
12.  Transparansi dan Kontrol Sosial


KELEBIHAN BUKU
Buku tulisan Fajlurrahman Jurdi sangat menambah wawasan mengenai teori negara hukum karena dilengkapi dengan banyak teori, pandangan ahli, dan catatan kaki disetiap kutipan sehingga memudahkan dalam mencari sumber bacaan.
KEKURANGAN BUKU
Terdapat beberapa penggunaan kata asing yang masih sulit dimengerti dan cara penulisan masih ada beberapa kekurangan, terlebih untuk buku ilmiah seperti ini. J

Resensi Buku Teori Negara Hukum, Oleh Isra Nurpadilah

RESENSI BUKU : TEORI NEGARA HUKUM KARYA  FAJLURRAHMAN JURDI JUDUL BUKU                        : TEORI NEGARA HUKUM PENULIS...